DIALOG BERITA — Di tengah gegap gempita baliho pembangunan, wajah lain dari perubahan justru tampak muram di sudut-sudut kota. Di Kisaran, pembangunan tak selalu berarti kemajuan. Ia kadang menjelma jadi tembok yang menutup akses, warung yang digusur tanpa ganti, edaran cabai tanpa modal, dan jalan-jalan yang tetap berlubang menunggu belas kasihan.
Di Gang Setia, sebuah tembok mendadak berdiri, memutus nadi pergerakan warga. Yayasan yang mengklaim kepemilikan seolah berhak memprivatisasi ruang publik. Padahal gang bukan sekadar lorong, melainkan jalur hidup warga yang tak bisa dibarter dengan papan nama. Tembok itu kini menjadi simbol: antara publik yang terpinggirkan dan otoritas yang terlalu percaya diri memutuskan tanpa dialog.
Di sisi lain, edaran bupati tentang penanaman cabai terdengar manis di atas kertas. Namun, tanpa bibit, pupuk, pelatihan, dan modal, himbauan itu berubah menjadi beban. Cabai tidak tumbuh dari kata-kata, melainkan dari kebijakan yang menyentuh tanah. Jika pemerintah berani menjadikannya program nyata, edaran itu bisa berubah dari wacana menjadi gerakan kebajikan.
Di Jalan Budi Utomo Mutiara, warung-warung kecil dibongkar demi pelebaran jalan dua jalur. Modernisasi jadi alasan, tapi mengapa yang pertama kali dikorbankan adalah mereka yang paling lemah? Warung bukan sekadar bangunan—itu dapur, sekolah, dan biaya berobat. Menggusur tanpa solusi sama dengan menendang tulang punggung keluarga. Di mana keadilan transisi? Di mana lokasi pengganti? Jika jalan diperlebar tapi perut rakyat dikempiskan, untuk siapa sebenarnya jalan itu dibuka?
Sementara itu, jalan-jalan lain tetap terbengkalai. Lubang menganga, debu beterbangan, aspal tak kunjung datang. Anehnya, energi pembangunan justru diarahkan untuk membuka jalur baru, seolah meninggalkan luka lama yang tak sembuh-sembuh. Tidakkah ini seperti membangun rumah baru, sementara rumah lama masih bocor dan reyot?
Semua potongan ironi itu berujung pada satu pertanyaan: apakah pembangunan masih tentang rakyat, atau hanya panggung etalase proyek?
Rakyat tidak menolak perubahan. Mereka hanya menuntut keadilan. Mereka ingin hadir dalam meja perencanaan, bukan sekadar jadi korban keputusan. Karena pembangunan sejati bukan soal berapa panjang jalan yang dibuka, tetapi seberapa luas keadilan dibagi. Bukan soal berapa warung yang diruntuhkan, tetapi berapa keluarga yang tetap bisa hidup bermartabat.
Dan rakyat hanya ingin satu jawaban sederhana: Apakah pembangunan ini sungguh-sungguh untuk mereka — atau hanya untuk mereka yang berkuasa menafsirkan kata “pembangunan?” (**)