DIALOG BERITA – Di sebuah meja panjang, angka-angka bertarung dengan rasa lapar. Di sana, para ahli berkumpul. Bukan ahli masak, bukan ahli gizi, melainkan para pengatur negeri yang menyusun menu bukan dari dapur, melainkan dari ruang rapat ber-AC.
Ahli Anggaran: Menakar Gizi dengan Kalkulator
Ia bicara tentang efisiensi. Tentang “kenyang yang murah.” Setiap vitamin ia ubah menjadi rupiah, setiap protein menjadi biaya. Ia menimbang gizi dengan timbangan anggaran, bukan kebutuhan tubuh. Dalam hitungannya, rasa dan nilai hidup sering kali ikut dipangkas. Makanan bukan lagi soal cita rasa atau kebutuhan dasar, melainkan soal alokasi dan batas pagu.
“Kenyang itu penting, asal tidak mahal,” katanya. Tapi ia lupa: murah bukan berarti cukup.
Ahli Strategi: Menggambar Masa Depan di Atas Poster
Di sudut ruangan, seorang ahli strategi menggambar masa depan. Menu sehat ia susun rapi, dijadikan poster berwarna cerah, ditempel di dinding sekolah. Tapi piring anak-anak tetap kosong. Atau diisi makanan yang hanya memuaskan kamera, bukan perut. Ia bicara tentang visi, tapi lupa bahwa visi tanpa nasi hanyalah ilusi.
“Kita sudah punya roadmap gizi,” katanya. Tapi jalan itu tak pernah sampai ke meja makan rakyat.
Ahli Laporan: Menyulap Luka Menjadi Angka
Lalu datanglah ahli laporan. Ia piawai menyulap luka menjadi grafik yang tampak membaik. Stunting pun turun di kertas. Tapi tubuh-tubuh kecil itu masih bergelut dengan lapar. Masih tumbuh lambat. Masih belajar dengan kepala pusing dan perut kosong. Ia bicara tentang capaian, tapi lupa bahwa capaian bukan sekadar angka, melainkan anak-anak yang benar-benar tumbuh sehat.
“Data menunjukkan kemajuan,” katanya. Tapi di lapangan, kemiskinan tetap mengunyah masa depan.
Makanan Bukan Proyek
Makanan bukan proyek. Bukan citra. Bukan angka. Jika dapur hanya diatur oleh kalkulator, strategi, dan arsip perkara, maka kita hanya akan melahirkan generasi yang kenyang dalam berita—tetapi lapar dalam kenyataan.
Kita butuh dapur yang berpihak. Bukan dapur yang tunduk pada laporan.